Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

International Biodiversity Conference in Jayapura, Papua - Indonesia, 11-14 November 2009, The First International Conference in Jayapura, Papua - Indonesia with theme " Working together for sustainable development in Tanah Papua for our future " sub theme “Protect Biodiversity, Protect our Life”. Ayo Kita Sukseskan Acara Konferensi Bertaraf International Tentang Keragaman Hayati Papua di Jayapura, Papua. Tema Acara " Bekerja bersama-sama bagi pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua demi masa depan kita " Acara ini terlaksana atas kerjasama Pemda Provinsi Papua, Pemda Provinsi Papua Barat, Conservation International Indonesia dan WWF Indonesia Region Sahul Papua

AYO KITA DUKUNG : KONFERENSI INTERNASIONAL KERAGAMAN BUDAYA PAPUA, 8-11 NOPEMBER 2010

AYO KITA DUKUNG : KONFERENSI INTERNASIONAL KERAGAMAN BUDAYA PAPUA, 8-11 NOPEMBER 2010
Akan diselenggarakan Konferensi Internasional Kedua di Jayapura, Papua - Indonesia tentang "Konferensi Internasional Keragaman Budaya Papua dalam Keragaman Kebudayaan Indonesia " tanggal 8-11 Nopember 2010 bertempat di Kantor Gubernur Provinsi Papua, Jln.Soa Siu, Jayapura-Papua. Bagi Anda yang tertarik mengetahui informasinya dan ingin ikut serta pada acara tersebut silahkan kunjungi Website di www.icpcd.org


Jumat, 13 November 2009

Rumuskan Konsep Menuju Copenhagen,

(www.cenderawasihpos.com, 13-11-2009)
Konferensi ini Juga Harus Bawa Hasil Untuk Rakyat Miskin
JAYAPURA-Konferensi Keanekaragaman Hayati Internasional yang berlangsung di Sasana Karya Kantor Gubernur Papua, Kamis (12/11) kemarin, membahas sejumlah hal pokok, yang kaitannya dengan keaneragaman hayati. Baik itu menyangkut wilayah-wilayah yang patut mendapatkan perhatian serius untuk penanganannya seperti bagian Selatan Mimika, Mappi dan daerah lainnya yang saat ini terjadi eksploitasi besar-besaran sumber daya hayati, sebagaimana yang diungkapkan oleh peneliti dari Conservation International Ecology, terhadap Biogeography and Environment of Papua.
Tapi di sisi lain, juga dipaparkan tentang ada kemajuan-kemajuan yang patut disyukuri karena adanya berbagai upaya-upaya perlindungan, baik baik dilakukan pemerintah atau masyarakat, misalnya ada penambahan hutan mangrove (bakau) di Timika dan sejumlah daerah lainnya.

Sementara itu, dalam keterangan persnya, Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH, menjelaskan, konferensi ini adalah inisiatif dari Pemerintah Provinsi Papua sebagai bagian penting dari langkah untuk menuju konferensi di Copenhagen dan juga adanya penugasan Presiden SBY untuk membicarakan sesuatu langkah yang lebih konkrit, dalam rangka pelaksanaan dari konsep reduce emission from degradation and deforestation (REDD) di Indonesia khususnya di Papua, sebagai program dalam rangka menurunkan emisi yang menjadi kewajiban semua negara di dunia termasuk Indonesia.
"Papua sangat kaya dan unik dengan sumber daya hayatinya, oleh karena itu dalam konferensi ini bagaimana menghasilkan konsep yang ditawarkan sebagai bagian dari konsep nasional, tentang program REDD itu untuk menurunkan emisi di dunia khususnya di Papua ini," ungkapnya kepada wartawan di ruang rapat Gubernur Provinsi Papua, Kamis, (12/11).

Berikutnya, konferensi ini juga untuk memberikan kesadaran baru bagi semua komponen, bahwa nilai yang luar biasa ini, harus dijaga dan dipelihara, yakni hutan dan sumber daya alam hayatinya, karena bila menjaga dan memelihara dengan baik maka kehidupan akan berlangsung dengan baik.
Di sisi lain, bagaimana konferensi ini menghasilkan sesuatu untuk kesejahteraan rakyat miskin, bukan untuk konglomerat. Rakyat miskin di kampung-kampung yang adalah pemilik sah dari hutan itu sendiri. Maka dari itu perlu dilakukan konferensi yang nantinya memproteksi hak-hak masyarakat, seperti aturan, kelembagaan yang memberikan jaminan kepada masyarakat kecil.
"Konferensi internasional yang keanekaragaman hayati ini fokus pada hutan dan flora dan fauna yang begitu kaya, tapi juga di dalamnya ada nilai-nilai manusia, ada nilai-nilai budaya, dan sebagainya. Semuanya itu sudah kita lakukan, melalui dana Respek yang di dalamnya ada program untuk mengelola lingkungannya. Kami juga terus menanamkan kesadaran kepada masyarakat tentang betapa pentingnya memelihara kekayaan dan keunikan ini dan dikelola secara berkelanjutan," katanya.

"Bagaimana ada keberpihakan kepada masyarakat, dan perlindungan, ini yang harus dilakukan, tanpa itu masyarakat juga sendiri hancur, dan aspirasi naik terus. REDD untuk bagaimana dunia internasional turun dalam skema nasional, dan turun dalam tingkat provinsi, tapi juga turun langsung sampai tingkat kampung, dengan begitu masyarakat akan mengambil bagian dan kualitas hidupnya akan naik, pendapatan naik, dari tidak menebang pohon, tapi menanam pohon, kelola hutan dan keanekaragaman hayatinya secara berkelanjutan," sambungnya.
Dicontohkannya, misalnya, strategi untuk menurunkan emisi yang menjadi kewajiban semua negara pada Pegunungan Cycloop, dimana area Cyclop mulai dari Pasir Dua, Jayapura Utara dipagari, kemudian bagian atas gunung ditanami kembali pepohonan, sementara di bagian kaki gunung dan lereng gunungnya masyarakat difasilitas untuk melakukan penanaman pohon. Dengan begitu hutan kembali subur, dan masyarakat mendapatkan penghasilan dengan menanam dan memelihara pohon yang ditanamnya itu.

Untuk hutan adat yang menjadi hutan konservasi, hutan konvensi dan hutan lindung, kata Gubernur, khusus untuk hutan produksi dan hutan konvensi tidak digunakan semena-mena tapi digunakan secara berkelanjutan. Misalnya, hutan konversi Papua dan Papua Barat sekitar 8 juta hektar. Dan yang pakai hanya 1 juta hektar saja, sedangkan sisanya dijaga dan tidak boleh diganggu karena ada spesies-spesies yang harus dilindungi.
"Hutan ini nanti untuk orang di kampung, bahwa investor yang tidak membangun industri di kampung harus dicabut. Hutan yang dikelola secara berkelanjutan, pendapatan masyarakat kampung meningkat, dan pada saatnya kita kurangi tebangan, dan kebijakannya adalah tebang satu tanam 10 pohon. Dari dia tanam, dia juga harus dapat uang juga. Kami juga hati-hati sekali melihat investor masuk, karena jangan sampai merusak hutan," lanjutnya.

Kelanjutan pengelolaan hutan dan keanekaragaman hatayinya, kabupaten/kota harus tunduk dan taat pada aturan yang dibuat. Dan harus melaksanakan sesuai dengan amanat Perdasus kehutanan yang nantinya disahkan itu. Dan hukum harus ditegakkan.
Sementara itu, Rektor Universitas Papua, DR. Frans Wanggai, yang juga sebagai, pemateri pada konferensi itu, menandaskan, berbagai kajian telah dilakukan di seluruh Papua tentang sumber daya hayati yang di Papua, dan sudah banyak hasil penelitian yang direkomendasi telah disampaikan, namun pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana mengelola sumber daya hayati ini dengan baik.
Menurutnya, pengelolaan sumber hayati itu dapat dilihat dari aspek lingkungan, juga dapat dilihat dari sumber daya hayati itu sendiri, dapat dilihat dari aspek ekonomi, dan yang tidak kalah penting adalah dilihat dari aspek sosial.

Mengenai aspek lingkungan, seharusnya memperhatikan kualitas tanah, air dan udara. Nah disini harus ada indikator yang jelas dalam pengelolaan itu sendiri. Kemudian aspek sumber daya hayati, bahwa harus dilihat dari keanekaragaman hayati yang tersebar di berbagai daerah di Tanah Papua, karena hayati ini sangat penting untuk melihat berapa banyak, tipe-tipe ekosistem yang perlu diatur keseimbangan ekosistemnya.

Demikian, juga sebaliknya aspek ekonomi dan aspek sosial. Misalnya, produksi kayu hutan jangan menghasilkan suatu nilai ekonomi yang dapat dirasakan sesaat, namun berkelanjutan. Juga pada aspek sosial, dimana di sini bagaimana peran serta masyarakat setempat, hak ulayat, hutan rakyat, ini yang patut dipertimbangkan dalam kebijakan pengelolaan.(nls/fud)
(scorpions)

Kamis, 12 November 2009

Ondoafi Papasena II : Harapkan Konferensi IBC Hasilkan Solusi Konkrit Pembangunan SDM

(IBC Papua, 12-11-2009)
JAYAPURA – Konferensi Internasional Biodiversity yang digelar oleh Pemerintah Propinsi Papua turut mengundang beberapa perwakilan masyarakat hukum adat. Ondoafi Kampung Papasena 2 Kecamatan Mamberamo Hulu Timothius Kawena mengatakan belum sepenuhnya paham tentang materi maupun topic yang diangkat dalam kegiatan ini. “Bapak belum paham sepenuhnya inti dari kegiatan ini, tapi pada prinsipnya sebagai orang adat semenjak dulu kami sangat menghargai tanah maupun alam yang telah ada.

Lanjutnya Timothius bercerita bahwa masyarakat di kampungnya sangat bergantung dari alam, kebanyakan dari mereka sehari-hari menggatungkan hidup dengan mencari sagu di hutan serta menangkap ikan di aliran sungai Mamberamo. “Masyarakat kampung hidupnya sangat sederhana sehari-hari hanya mencari sagu dan menangkap ikan. Ditanya soal program respek dirinya mengaku hal tersebut belum mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat karena sumber daya manusia setempat masih jauh dari yang diharapkan. “Percuma uang banyak, program bagus tapi pembangunan SDM tidak memadai, ini Cuma buang uang saja”, pungkasnya.

Kampung papasena 2 kecamatan Mamberamo hulu memiliki lebih dari 500 KK (kepala keluarga) yang menggantungkan hidup dari mencari sagu di hutan dan menangkap ikan di sungai Mamberamo. Meski jauh dari kesan modern, rata-rata warga telah menyadari pentingnya pendidikan, hal ini dibuktikan dengan keberadaan lembaga pendidikan formal baik Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) ataupun Sekolah Menengah Umum (SMA).

Temukan Species Flora Terbaru

(IBC Papua, 12-11-2009)
Jayapura,- Balai Penelitian Kehutanan – Manokwari – Papua Barat akan mempublikasikan penemuan sejumlah jenis flora species terbaru dari Taman Wisata Alam Gunung Meja – Papua Barat.

Seperti yang dikatakan Kepala seksi Pelayanan dan Evaluasi dari Balai Penelitian Kehutanan – Manokwari Drs Jonny Holbert Panjaitan MSc, saat ditemui di stand Pameran Manokwari pada konferensi keanekaragaman hayati di Main hall Kantor Gubernur Dok II Jayapura kemarin sore Kamis (12/11).

Namun Jonny masih belum mau sesumbar mengatakan berapa jenis species baru yang akan diumumkan.

Dari hasil penelitian balai penelitian kehutanan Manokwari juga ditemukan jenis tanaman obat pale kuning. Menurut kepercayaan masyarakat setempat daun ini berkhasiat untuk penyakit malaria dan sebagai obat penambah tenaga. Selain itu juga balai ini sedang membudidayakan mangrove /tanaman bakau di Oransbary - Manokwari dengan menggunakan system tebang pilih.

Saat ini juga sedang dibuat konservasi penanaman pohon merbau. “Kita akan membuat kebun konservasi merbau seluas 7 hektar di Manokwari,”katanya.

Kebun konservasi merbau ini, dilakukan karena kayu jenis merbau (instia sp) atau istilah bekennya bernama kayu besi ini paling banyak diminati, karena mutunya bagus dan kuat.

Luas Papua sekitar 40,5 juta hektar hutan, juga kaya akan berbagai jenis flora dan fauna. Kekayaan flora ini diindikasikan dengan lengkapnya tipe hutan yang dimiliki. Mulai dari tipe hutan mangrove sampai vegetasi alpin.

Keanekaragaman flora diduga mencapai 15.000 – 20.000 jenis tumbuhan tinggi dengan jumlah marga yang sudah teridentifikasi sebanyak 1465.

Paling sedikit 124 marga diantaranya endemic. Demikian halnya dengan jenis fauna, terdapat 268 jenis burung endemic dari 641 jenis burung yang telah ditemukan pada saat itu.

Untuk fauna sendiri, juga ditemukan burung paruh bengkok di Gunung Meja. “Untuk fauna sendiri, kami juga menangkarkan kasuari di balai penelitian kami,”katanya lagi.

Dengan luas daratan yang mencapai 41 juta hektar lebih serta keanekaragaman hayati yang tinggi. Hal ini diyakini Papua dan Papua Barat dapat memberikan kontribusi yang baik bagi pembangunan nasional.

Balai penelitian kehutanan Manokwari (BPKM) merupakan salah satu unit pelaksana teknis badan penelitian dan pengembangan kehutanan Departemen Kehutanan. Sejarah balai ini diawali dengan penetapan proyek penelitian yang berkedudukan di Manokwari berdasarkan SK Menhut No.95 /Kpts-II/1984 dan secara operasional dimulai pada tahun 1985 dalam bentuk proyek penelitian kehutanan Manokwari (PPKM).(tim)

Dari Pembukaan Konferensi Keanekaragaman hayati di Jayapura. Jimmi Hendrik : Implemantasikan Konsep Keseimbangan Alam

(IBC Papua, 12-11-2009)
Konferensi Internasional Keragamanhayati yang diselenggarakan di Jayapura, tidak hanya berisi muatan isu lingungan semata, Panitia penyelenggara turut memberikan nuansa berbeda melalui sentuhan pameran aneka kerajinan yang dikerjakan oleh tangan-tangan putera-puteri asli Papua.

Salah satu peserta pameran yang ditemui yakni Jimmi Hendrik Affar mengaku sangat senang dengan adanya iven kali ini, “Kegiatannya sangat menarik, karena sekaligus membantu kami guna mempromosikan hasil karya seni dari Papua”, ujarnya.

Jimmi Hendrik Affar, adalah putera asal Kampung Enggros yang berkiprah di dunia busana lewat karya batik Papua yang mengangkat filosofis kehidupan masyarakat asli Enggros dan Tobati. Berbeda dengan motif batik lainnya, Jimmi konsen terhadap nilai-nilai adat istiadat masyarakat yang menempati kawasan Teluk Youtefa tersebut. Sebelumnya Jimmi pernah melanglang buana di dunia fashion tanah air dan bekerja pada desainer terkenal, dirinya merupakan satu-satunya pengrajin batik Papua yang berani membuat terobosan dengan menjadikan puteri Indonesia Nadine Chandrawinata sebagai duta batik Port Numbay miliknya.

Tema kegiatan kali ini terkait erat dengan karya milik Jimmi, “Dalam setiap desain maupun motif batik Port Numbay selalu mengangkat kehidupan masyarakat di kampung halaman saya, seperti motif ikan, kupu-kupu dan lainnya yang menceritakan keindahan alam juga kehidupan tradisonal, hal tersebut tidak terlepas dari komitmen menghargai tanah maupun alamnya”, ujarnya.

Harapan Jimmi agar konferensi kali ini mampu menghasilkan solusi yang tidak hanya sekedar memberikan janji tetapi sekaligus menjelma menjadi kontribusi nyata bagi kehidupan masyarakat di Tahah Papua.

Mendesak, rencana tata ruang berkelanjutan untuk konservasi Papua

(http://areahijau.blog.nationalgeographic.co.id, 12-11-2009)
Posted by Firman Firdaus on November 12, 2009

Mulai hari ini (11/11) hingga Sabtu (14/11) diselenggarakan konferensi bertajuk International Biodiversity Conference atau Konferensi Internasional tentang Keanekaragaman Hayati, mengenai pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua.

Konferensi ini menghadirkan sekitar seratusan orang peserta termasuk pakar dan ilmuan dunia dan nasional, penggiat lingkungan, pemerintah daerah Provinsi Papua dan Papua Barat, pemerintah pusat, LSM, pengusaha, dan perwakilan masyarakat adat. Konferensi ini dilaksanakan guna berbagi pengalaman dan menghimpun masukan dalam upaya mengintegrasikan aktivitas pembangunan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumber daya alam dalam kerangka pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua.

Papua, bagian paling timur Indonesia, saat ini terdiri dari dua provinsi, Papua dan Papua Barat dengan total kawasan seluas sekitar 421.981 kilometer persegi dengan penduduk sekitar 2 juta jiwa pada tahun 2004 (BPS, 2006).

“Tekanan dan ancaman bagi keanekaragaman hayati di Papua meningkat sejalan dengan keberadaan Papua sebagai target para investor untuk industri-industri perkebunan-kehutanan berskala besar. Ditambah lagi dengan permintaan permbangunan infrastruktur yang juga meningkat,” kata Abraham. O. Atururi Gubernur Papua Barat.

Abraham menambahkan, kegagalan pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati yang telah terjadi di Sumatra dan Papua sebaiknya tidak terulang lagi di Tanah Papua.
Pada kesempatan yang sama, Gubernur Papua Barnabas Suebu merinci lima strategi kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di Propinsi Papua, yaitu: 1) Setidaknya 50 persen dari hutan konversi dipelihara untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan; 2) Hutan primer dengan nilai konservasi tinggi tidak boleh dialokasikan untuk pembangunan kebun kelapa sawit dan pemanfaatan lainnya; 3) Meningkatkan upaya efisiensi dan produktivitas lahan yang ada termasuk lahan perkebunan kelapa sawit yang ada; 4) Mempromosikan dan mengembangkan industri-industri berbasis energi terbarukan dalam kerangka kebijakan yang sama sekali tidak menggunakan energi fosil; 5) Mempromosikan pengembangan usaha-usaha kecil dan menengah pada bidang pertanian, kehutanan dan perikanan sebagai mesin penggerak ekonomi di kampong-kampung.

Dengan luasan hutan sekitar 42 juta hektare yang dimiliki Papua, Gubernur Suebu juga menunjukkan posisi signifikan bagi Papua dalam upaya memitigasi perubahan iklim global, termasuk keinginan provinsi tersebut untuk mempresentasikan rencana pembangunan rendah karbon (low-carbon development plan) dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Kopenhagen pada Desember 2009.

Dalam sambutannya, Prof DR. Emil Salim sebagai Dewan Penasehat Presiden mengatakan bahwa lebih dari 50 persen keanekaragaman hayati Indonesia ditemukan di Papua, dengan rata-rata spesies endemik yang tinggi. Tanah Papua juga memiliki ekosistem yang lengkap dari ekosistem terumbu karang dan mangrove hingga ekosistem savana, hutan dataran rendah, tinggi, dan pegunungan.
Benja Mambai, DIrektur WWF-Indonesia untuk Program Sahul menekankan pentingnya konsistensi dalam menerapkan rencana tata ruang berkelanjutan di Papua “untuk merefleksikan nilai ekologi, sosial, dan budaya yang dimiliki Papua,” ujarnya.

Konferensi ini diharapkan dapat menghimpun masukan dari berbagai pihak mengenai konservasi, pemanfaatan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam dalam pembangunan ekonomi dan sosial, serta nilai budaya masyarakat asli di Tanah Papua.***

Gubernur Papua : Pemrov Segera Koordinasikan Kebijakan Investasi di Papua

(IBC Papua, 12-11-2009)
JAYAPURA – Gubernur Propinsi Papua Barnabas Suebu, SH membenarkan bahwa selama ini terjadi benturan kebijakan antara Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten terkait persoalan investasi di wilayah konservasi di Propinsi Papua “Memang ada beberapa kebijakan yang terkadang Pemerintah Kabupaten tidak paham mengenai aturan main utamanya investasi yang menyangkut aturan main terkait larangan di area konservasi”, ujarnya.

Pada konferensi pers yang digelar diruang kerja Gubernur Propinsi Papua terkait Konferensi Internasional Biodiversity Kamis (12/11) kemarin, dikatakan bahwa pemerintah Papua saat ini tengah menggodok Peraturan yang mengacu pada UU Kehutanan dan amanat otsus guna mengkoordinasikan aturan main mengenai larangan investasi diwilayah konservasi. “Saat ini kami tengah menata peraturan baru untuk ditetapkan menjadi Perdassi dan Perdassus dengan tidak mengabaikan UU Kehutanan yang sudah ada agar pihak pemkab tidak mengeluarkan kebijakan yang mengganggu wilayah konservasi”, tegasnya.

Sementara itu Gubernur Papua Barat Abraham O Atururi dalam press relasenya mengatakan tekanan ancaman bagi keanekaragaman hayati di propinsi Papua meningkat sejalan dengan keberadaan Papua sebagai target investor untuk industry-industri agro forestry yang berskala besar.”Pembangunan dan konservasi harus berjalan seimbang serta dilakukan dengan bijaksana sehingga mendukung jalannya pembangunan yang berkelanjutan.

Di akhir penjelasannya Gubernur menekankan pentingnya penegakan hukum agar setiap orang tidak semena-mena membuat aturan sendiri yang merugikan orang banyak. “Yang terpenting kita harus bisa menegakkan aturan secara sadar, jangan peraturan sudah ada kita buat aturan menurut keinginan kita”, ujarnya. (Team)

Tidak Ada Hutan, Tidak Ada Kehidupan

(www.kompas.com, 12-11-2009)
Laporan wartawan KOMPAS Ichwan Susanto

JAYAPURA, KOMPAS.com - Konferensi Internasional Keanekaragaman Hayati Pertama digelar di Jayapura Papua pada 11-14 November 2009. Dalam pembukaan kegiatan ini, Rabu (11/11) malam di Sasana Krida Kantor Gubernur Papua di Jayapura, Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta mengharapkan konferensi membawa hasil dan masukan berharga bagi pelestarian lingkungan di Papua, Indonesia, hingga dunia.

Pembukaan ini dilakukan secara konferensi jarak jauh melalui layar lebar antara Menteri dengan Gubernur Papua Barnabas Suebu, Wakil Gubernur Papua Barat Rahimin Katjong, dan Direktur Jenderal Planologi Departemen Kehutanan Sutrisno. Gubernur Suebu menuturkan kegiatan ini penting bagi perlindungan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati.

"Kita semua sependapat bahwa perubahan iklim merupakan ancaman terbesar terhadap eksistensi umat manusia dewasa ini. Perubahan iklim mendampaki setiap penghuni planet. Di Papua, kita sudah merasakan dampak tersebut, dalam bentuk kekeringan dan kelaparan di daerah pegunungan tengah akibat perubahan iklim global," ujarnya dalam bahasa Inggris kepada ratusan peserta.

Ia pun menuturkan Papua memiliki posisi yang signifikan dalam mengurangi dan memitigasi perubahan iklim. Kapasitas hutan Papua yang luasnya 42 juta hektare dapat memproses karbon dioksida kurang lebih sama dengan kemampuan untuk memproses jejak karbon yang dihasilkan oleh seluruh penduduk benua Eropa.

Kegiatan ini diikuti ratusan peserta dan narasumber dari dalam dan luar negeri. Pembicara dari luar negeri antara lain Bruce M. Beehler ( Amerika) dengan materi The Ecology of Papua, Terry Hills (Australia) dengan materi Climate Risk Profil for Papua And Papua Barat, Dr. Martin Golman (PNG) dengan materi Sustainable Forestry Management, Darius Sarshar (Inggris) de ngan materi Biodiversicity Credit, Chris Bennet (Inggris).

Sementara itu pembicara luar negeri yang sudah ada di Indonesia Jos Houterman ( Belanda), Wim Giesen (Belanda ), Dr. Weiglein Werner (Jerman ) dan beberapa pembicara lain.

Gubernur Papua Suebu mengharapkan konferensi ini membawa pembangunan berkelanjutan di Papua. "Mengapa? Karena apabila tidak ada pohon, maka tidak akan ada kehidupan. Tidak ada hutan, tidak ada kehidupan," ujarnya.
Editor: wah

Konferensi Internasional Keanekaragaman Hayati Dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan Digelar di Jayapura, Papua

(www.wwf.or.id, 12-11-2009)
Jayapura (12/11) - Sebuah konferensi bertajuk International Biodiversity Conference atau Konferensi Internasional Keanekaragamanhayati, mengenai pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua hari ini (12/11) dimulai dan berlangsung hingga Sabtu (14/11) di Jayapura, Papua. Konferensi ini menghadirkan sekitar seratusan orang peserta termasuk pakar ilmuan dunia dan nasional, pegiat lingkungan, pemerintah daerah propinsi Papua dan Papua Barat, pemerintah pusat, LSM, pengusaha, dan perwakilan masyarakat adat. Konferensi ini dilaksanakan guna berbagi pengalaman dan menghimpun masukan dalam upaya mengintegrasikan aktivitas pembangunan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumberdaya alam dalam kerangka pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua.


"Tanah Papua", bagian paling timur dari Indonesia, saat ini terdiri dari dua provinsi, Papua dan Papua Barat dengan total kawasan seluas sekitar 421.981 kilometer persegi dengan penduduk sekitar 2 juta jiwa pada tahun 2004 (BPS, 2006).

"Tekanan dan ancaman bagi keanekaragaman hayati di Tanah Papua meningkat sejalan dengan keberadaan Tanah Papua sebagai target para investor untuk industri-industri agro forestri yang berskala besar. Ditambah lagi dengan permintaan permbangunan infrastruktur yang juga meningkat, "kata Abraham. O. Atururi Gubernur Papua Barat. "Oleh karena itu pembangunan dan konservasi harus berjalan seimbang dan dilakukan dengan bijaksana sehingga mendukung berjalannya pembangunan yang berkelanjutan. Kegagalan pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati yang telah terjadi di Sumatera dan Papua sebaiknya tidak terulang lagi di Tanah Papua," tambahnya. Gubernur Papua Barat juga mengajak berbagai pihak - termasuk pelaku ekonomi dan mitra lainnya - untuk bergabung dalam upaya pelestarian alam dan sumber hayati di Tanah Papua

Barnabas Suebu, Gubernur Papua mengatakan, bahwa melalui penyelenggaraan konferensi ini, Pemda dengan bangga menyatakan bahwa pembangunan yang berkualitas dan berkelanjutan adalah sesuatu hal yang mungkin dilakukan melalui perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana.

"Ada 5 strategi kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di Propinsi Papua, yaitu Satu, setidaknya 50 persen dari hutan konversi dipelihara untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan; Dua, hutan primer dengan nilai konservasi tinggi tidak boleh dialokasikan untuk pembangunan kebun kelapa sawit dan pemanfaatan lainnya; dan Tiga, meningkatkan upaya efisiensi dan produktivitas dari lahan yang ada termasuk lahan perkebunan kelapa sawit yang ada," kata Barnabas Suebu. Dua strategi lainnya termasuk mempromosikan dan mengembangkan industry-industri berbasis energi terbarukan dalam kerangka kebijakan yang sama sekali tidak menggunakan energi fosil - tetapi lebih menekankan pengembangan dan penggunaan secara berkelanjutan sumber-sumber energi yang berasal dari air, angin, matahari dan sumber-sumber biofuel yang berlimpah di papua seperti sagu dan nipah; dan mempromosikan pengembangan usaha-usaha kecil dan menengah pada bidang pertanian, kehutanan dan perikanan sebagai mesin penggerak ekonomi di kampong-kampung.

Dengan luasan hutan sekitar 42 juta hektar yang dimiliki Papua, Gubernur Suebu juga menunjukkan posisi signifikan bagi Papua dalam upaya memitigasi perubahan iklim global, termasuk keinginan propinsi tersebut untuk mempresentasikan rencana pembangunan rendah karbon(low-carbon development plan) dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Kopenhagen pada Desember 2009.

Dalam sambutannya Prof DR. Emil Salim sebagai Dewan Penasehat Presiden mengatakan bahwa lebih dari 50 persen keanekaragaman hayati Indonesia ditemukan di Papua, dengan rata-rata spesies endemik yang tinggi. Tanah Papua juga memiliki ekosistem yang lengkap dari ekosistem terumbu karang dan mangrove hingga ekosistem savana, hutan dataran rendah, tinggi, dan pegunungan. Dalam kurun waktu 2000 s/d 2008 ilmuan dari CI menemukan spesies flora dan fauna - termasuk spesies darat (terrestrial) dan berbagai terumbu karang - dalam jumlah yang relatif tinggi.

"Sebagai daerah yang memiliki nilai konservasi tinggi, maka sangat penting bahwa nilai ekologi, sosial dan budaya Tanah Papua dapat direfleksikan dalam rencana tata ruang berkelanjutan, yang kemudian diimplementasikan secara konsisten " kata Benja Mambai, Direktur WWF-Indonesia untuk Sahul Program. "WWF menyambut baik dan memberikan penghargaan yang tinggi serta mendukung inisiatif dan kepemimpinan pemerintah daerah Papua dan Papua Barat dalam menyelenggarakan konferensi ini. Kami berharap hasil dari konferensi ini dapat menjadi landasan untuk memformulasikan visi pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua dengan memperhatikan keunikan keanekaragaman hayati, sumberdaya alam, dan sosial budayanya serta mengakomodasi tantangan perubahan iklim global".

right
"Kami berharap melalui konferensi ini, informasi ilmiah serta berbagai input dapat dikumpulkan, termasuk berbagai inisiatif dan komitmen konkrit dari berbagai mitra dan pemangku kepentingan, kata Peter Kamarea dari Conservation International. "Kita semua mestinya bisa belajar memahami bahwa sepanjang sejarah manusia 'konservasi tanpa pembangunan manusianya adalah sia-sia, tetapi pembangunan tanpa konservasi sumberdaya alam telah terbukti fatal bagi manusia," kata Peter menambahkan.

Konferensi ini diharapkan dapat menghimpun masukan dari berbagai pihak mengenai konservasi, pemanfaatan keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam dalam pembangunan ekonomi dan sosial, serta nilai budaya masyarakat asli di Tanah Papua. Masukan ini diperlukan dalam rangka mengembangkan strategi untuk ekoturisme, pemanfaatan SDA, dan pengelolaan sumberdaya hutan berbasiskan masyarakat secara berkelanjutan. Sebagai hasil dari konferensi ini, diharapkan dalam jangka satu tahun sebuah visi pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua dapat disepakati oleh pemerintah daerah dan masyarakat serta pihak terkait, dan selanjutnya disahkan secara resmi oleh DPRD di Papua dan Papua Barat.

Untuk informasi lebih lanjut, kontak:
* August Rumansara, Papua Governor Advisor +62 81248874004, a_rumansara@yahoo.com
* Ir. Noak Kapisa, MSc Ketua International Biodiversity Conference +62 81344038508 noakkapisa@yahoo.com
* Ian Kosasih, WWF-Indonesia's Forest Program Director, +62 811110697 ikosasih@wwf.or.id
* Benja Mambai WWF-Indonesia's Papua Program Director +62 8124809407 bmambai@wwf.or.id
* Peter Kamarea, Conservation International ph +62 8114803601 p.kamarea@conservation.org


Catatan untuk Editor:
1. "Sambutan Gubenur Papua (in English) dapat diunduh di:http://www.mediafire.com/file/jw41mdz2mdy/Speech Governor Papua at the IBC11Nov09.pdf
2. "Sambutan Gubernur Papua Barat(in Bahasa)dapat diunduh di:http://www.mediafire.com/file/nzzkyljtjny/Speech Papua Barat Governor 11Nov09.pdf
3. "Sambutan Mentri Kehutanan (in Bahasa) dapat diunduh di:http://www.mediafire.com/file/mztm3jymnjm/Speech Menteri Kehutanan di Papua 12Nov09.pdf
4. Hingga saat ini belum ada data acuan tentang rata-rata deforestasi di Papua, meskipun observasi di lapangan menunjukkan adanya peningkatan rata-rata kerusakan hutan yang cukup tajam. Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan (2002) rata-rata deforestasi pada periode 1985-1997 mencapai 117.523 hektar per tahun
5. Aktivitas pelestarian alam telah dilakukan di Tanah Papua sejak awal tahun 1980-an melalui penetapan beberapa kawasan konservasi. Sekitar 8 juta hektar, atau 20 persen dari daratan Papua, telah dideklarasikan sebagai kawasan konservasi dan 10 juta hektar atau sekitar 22 persen total daratan telah dideklarasikan sebagai hutan lindung (Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2001). Luasan tersebut lebih dari rata-rata propinsi lainnya di Indonesia. Dibandingkan dengan negara tetangga, Papua New Guinea misalnya, hanya 3 persen saja dari total kawasan di negara tersebut yang dialokasikan sebagai kawasan pengelolaan hidupan liar. Penetapan kawasan lindung di Papua juga merupakan salah satu yang memiliki system dengan desain terbaik (Jared Diamond, 1988).
6. Untuk informasi lebih lanjut dapat melihat website www.ibcpapua.blogspot.com

Hutan di Papua Tinggal 41,25 Juta Hektare

JAYAPURA - Dalam kurun waktu 2003 hingga sekarang lebih dari 5,8 juta hektare hutan Papua rusak. Saat ini Papua masih memiliki 41,25 juta hektare hutan.

Gubernur Papua Barnabas Suebu dalam Konferensi Internasional Keanekaragaman Hayati di Jayapura, Kamis (12/11/2009), mengatakan dari 41,25 Juta hutan yang tersisa, 50 persen di antaranya adalah hutan konservasi, 30 persen di antaranya adalah hutan konversi dan 20 persen sisanya hutan lindung.

Dia juga mengungkapkan, lahan perkebunan kelapa sawit saat ini juga tidak terlalu banyak di Papua yakni sekira 50.000 hektare.
Untuk menjaga kelestarian hutan yang ada di Papua ini, dia mengatakan tidak segan-segan mencabut HPH jika pengusaha dianggap merugikan pelestarian hutan.

"Kita ada kebijakan baru di Papua HPH bisa dicabut jika merugikan masyarakat asli Papua yang mempunyai hutan. Dan juga itu melanggar hukum," ujarnya.(fit) (mbs)

Papua Promosikan Energi Terbarukan

Jayapura, Kompas - Gubernur Papua Barnabas Suebu bertekad mempromosikan dan mengembangkan industri berbasis energi terbarukan. Sementara hutan primer tidak boleh dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit. Hal itu diungkapkan Suebu di sela-sela penyelenggaraan Konferensi Internasional Keanekaragaman Hayati.

Suebu, Kamis (12/11) di Jayapura, menuturkan lima strategi kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di wilayahnya.

Kelima strategi ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan menjaga kelestarian alam Papua yang diakui sebagai paru-paru dunia.

Strategi pertama, ujar Suebu, setidaknya 50 persen hutan konservasi dipelihara untuk pengelolaan hutan berkelanjutan.

Strategi yang kedua adalah hutan primer dengan nilai konservasi tinggi tidak boleh dialokasikan untuk pembangunan kebun kelapa sawit dan pemanfaatan lain.

Dia menuturkan, strategi ketiga adalah meningkatkan upaya efisiensi dan produktivitas lahan yang ada, termasuk lahan perkebunan kelapa sawit.

Strategi keempat adalah mempromosikan dan mengembangkan industri berbasis energi terbarukan.

”Ini dalam kerangka kebijakan yang sama sekali tak menggunakan energi fosil, tetapi lebih menekankan pada pengembangan dan penggunaan secara berkelanjutan sumber energi yang berasal dari air, angin, matahari, dan sumber biofuel yang berlimpah di Papua, seperti sagu dan nipah,” ujarnya.

Strategi kelima, lanjutnya, ialah mempromosikan pengembangan usaha-usaha kecil dan menengah pada bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai mesin penggerak ekonomi di kampung.

Suebu menegaskan, area 42 juta hektar total luas hutan Papua (termasuk Provinsi Papua Barat) menunjukkan, Papua punya posisi sangat strategis untuk berperan dalam mitigasi perubahan iklim global.

Oleh karena itu, Papua berencana mempresentasikan rencana pembangunan yang rendah karbon di Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009.

Konservasi 50 persen
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Marthen Kayoi menuturkan, 50 persen luas total hutan Papua ditujukan untuk konservasi, 30 persen hutan produksi, dan 20 persen hutan lindung. Total luas hutan Papua mencapai 41,2 juta hektar, sementara luas hutan Papua Barat 9,9 juta hektar.

Ia menuturkan, pemantauan citra satelit tahun 2003-2009 menunjukkan lebih kurang 5,8 juta hektar rusak. Penyebab kerusakan antara lain pembangunan infrastruktur, permukiman, dan perusahaan perkayuan.

Dalam keterangan pers yang beredar di arena konferensi tertulis, hingga sekarang belum ada data acuan terkini tentang rata-rata deforestasi di Papua. Berdasarkan data Departemen Keuangan (2002) rata-rata deforestasi periode 1985-1997 mencapai 117.523 hektar per tahun. (ICH)

Rabu, 11 November 2009

Governor of Papua : Four Carries Development

(IBC Papua www.ibcpapua.blogspot.com, 11-11-2009)
Jayapura, - Meanwhile in his speech the Governor of Papua Barnabas Suebu said sustainable development both in Papua have to do 4 things are reviewing the models of economic development that has taken place in Papua for this.

Two, working hard to improve the quality and update instruments of development planning, including development of long-term, medium and Spatial plan of Papua Province and created the growth of middle-class society Papua strong.

Three, strengthen the legal frameworks in order to protect and empower the indigenous people of Papua, in the process of sustainable development, to develop regulations and perdasus contains recognition of these rights.

Four, working hard lo strengthen institutional mechanisms to achieve the results, adding sustainable, including decision-making structure in the villages. Because some scattered indigenous people of Papua are not residing in urban areas, but in the villages of their traditional,.

Sustainable development in Papua can be implementer better. "Why? Because if there are no trees there would be no life in Papua. There is no forest, no life, "he said.

Minggu, 01 November 2009

AGENDA KEGIATAN : IBC (11 s/d 14 Nopember 2009)

INTERNATIONAL BIODIVERSITY CONFERENCE (IBC) 2009
KONFERENSI INTERNATIONAL KERAGAMAN HAYATI
Acara Konferensi bertaraf International yang pertama kali dilakukan di Jayapura, Papua - Indonesia

Waktu Pelaksanaan :
Tanggal : 11 Nopember s/d 14 Nopember 2009
Lokasi Pelaksanaan : Kantor Gubernur Provinsi Papua, Jayapura – Papua
P e s e r t a : Para ahli, pakar dan pemerhati masalah biodiversity, lingkungan, alam, flora & fauna, sumber daya alam dari manca negara dan para undangan


Paket Kegiatan :
  • Mengikuti presentasi dan seminar dari para pakar ahli biodiversity, lingkungan, sumber daya alam, konservasi dari manca negara
  • Melihat langsung pagelaran seni tari adat khas paua, paduan suara, seni pahat dan ukir di tempat acara berlangsungnya konferensi

  • Tour Wisata ke daerah biodiversity, seperti Cagar Alam Cycloops - Jayapura , Wisata Laut di Teluk Humbolt, Wisata Bawah Laut (diving) di Kepulauan Raja Ampat - Sorong,

  • Wisata Alam dan Budaya Asmat di Wamena, Wisata Mengenal Spesies di Taman Nasional Wasur – Merauke.

Acara ini terselenggara atas kerjasama :
- Pemerintah Daerah Provinsi Papua
- Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat
- Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Provinsi Papua
- WWF Region Sahul Papua
- Conservation International

Informasi lengkap hubungi lebih lanjut :
Sekretariat IBC Papua 1,
Kantor Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (BPSDALH) Provinsi Papua,d/a Gedung B Dinas Otonom Provinsi Papua, Jayapura - Papua,
Jln. Raya Abepura, Kotaraja - Jayapura
Telp. /Fax +62967 587694
Email : info.ibcpapua@gmail.com

Sekretariat IBC Papua 2,
Kantor Dinas Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Lantai 3
Komplek Kantor Gubernur Provinsi Papua,
Jln. Soa Siu - Jayapura
Email : info.ibcpapua@gmail.com

Kontak :
Lien Fransien Maloali (+6281248014951),
Michael Mantiri (+62811483754),
Jhon Herman (+628138897582),

E-mail : Lien Fransien Maloali (lonyalee@yahoo.com), Michael Mantiri (mae_mantiri@yahoo.com), Jhon Herman (mjohnherman@yahoo.co.id)

Jumat, 25 September 2009

KEYNOTE SPEAKER

Minister of Forestry
Theme : Forest Conversion Policy and Biodiversity Conservation in Tanah Papua

Dr. Bruce Beehler
Theme :The Ecology of Papua (Download Full Paper)

Drs. Alex Rumaseb, MM and Drs. Ishak Halatu
Theme : Spatial Planning in Tanah Papua (Papua and West Papua Province) (Download Full Paper)

Dr. Terry Hill
Theme : Climate Risk Profile for Papua and Papua Barat (Download Full Paper)

Prof. Dr. Emil Salim
Theme : Climate change and possible contribution from Papua to prevent global disaster

Rabu, 23 September 2009

KEPANITIAAN / COMMITTE

COMMITTE
Pelindung
- Barnabas Suebu, SH (Gubernur Papua)
- Abraham O. Ataruri (Gubernur Papua Barat)
- Mayjen A.Y. Nasution (Pangdam XVII Cenderawasih)
- Bagus F.X Ekodanto (Kapolda Papua)
- Laksma Stevanus Budiyono, SH (Dan Lantamal X)
- Drs. John Ibo, MM (Ketua DPRP)
- Agus Alua (Ketua MRP)

Pengarah
- Drs. Tedjo Soeprapto, MM (Sekda Papua)
- Prof. Dr. Berth Kambuaya (Rektor UNCEN)
- Ir. Yan Piet Karafir, M.Sc (Rektor UNIPA)
- Prof. Frans Wanggai (Dewan Komisaris Bank Papua)
- Ir. Frans Wospakrik, M.Sc (Wakil Ketua MRP)
- Dr. Jatna Supriyatna (Conservation International)
- Ir. Diah Ahmad Kosasih, M.Si (WWF-Indonesia)
- Ketua Umum : Ir. Noak Kapisa, M.Sc (Ka BPSDALH)
- Ketua I : Drs. Alex Rumasep, MM (Ka Bappeda)
- Ketua II : Ir. Marthen Kayoi, MM (Ka DisHut)
- Sekretaris I : Lienche F. Maloali (Pa Tro Fo Der)
- Sekretaris II : Ir. Michael Mantiri, M.Si (BPSDALH)
- Bendahara I : Yanne Worobay, Se., M.Si (BPSDALH)
- Bendahara II : Elias Paonangan (BPSDALH)

Sie Sekretariat
- Peter Kamarea (Conservation International)
- Martha Mandosir (BPSDALH)
- Sirjon Nainggolan (BPSDALH)
- Ronald Tapilatu (Staf Ahli Gubernur)
- Marthina Wonatorey (Pa Tro Fo Der)
- John Mampioper (BPSDALH)
- Abdul Muthalib (Conservation International)
- Rudy Wondiwoy (Paradisea Foundation)
- Beatrix Rumbewas (BPSDALH)
- Lina Gedi (BPSDALH)
- Denny Sagai (WWF-Indonesia)
- Lidya Surlia (WWF-Indonesia)

Sie Acara
- Agus Sumule (Staf Ahli Gubernur)
- Roberth Mandosir (ESP)
- Berty Fernandes (Duta Besar Peru)
- Anie Rumbiak (Biro Humas)
- Mathias Rafra (Staf Gubernur)
- Natalie J. Tangkepayung (WWF-Indonesia)
- Desmarita Murni (WWF-Indonesia)

Sie Materi
- August Rumansara (Penasehat Gubernur)
- Benja V. Mambai (WWF-Indonesia)
- Evie Adipati (ESP)
- Ruddy Maturbongs (Universitas Negri Papua)
- Don Flassy (BAPPEDA)
- Alberth Nebore (Conservation International)
- Thomas Nifinluri (Litbang Hut)
- Rosye Tanjung (Universitas Cenderawasih)
- Henk van Mastrigt (Papua Entomologist)
- Zulfira Warta (WWF-Indonesia)
- Thomas Barano (WWF-Indonesia)
- Mirza Pedju (WWF-Indonesia)

Sie Kesehatan
- dr. Bagus S. Widjaya (DINKES)
- dr. Suyono (DINKES)
- dr. M. Okoseray (DINKES)
- dr. Agnes (DINKES)

Perangkat Daerah
- Dukungan dari seluruh Bupati dari Provinsi Papua dan Papua Barat
- Segenap perangkat daerah provinsi dan kabupaten dari Provinsi Papua dan Papua Barat

ORGANIZING COMMITTEE
This Conference is organized by the Provincial Government of Papua and the Governor is accountable for this conference.

The Organizing Committee chaired by Head of BPSDALH (Kepala Badan Pengelola Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup) as the Chairman of the Organizing Committee and will be assisted by heads of related Government Institutions (SKPD).

PESERTA DAN UNDANGAN / PARTICIPANTS

The participants of this conference will be visionaries and practitioners on Conservation of Life and Nature. Special invitees will be from foreign Governments and Non-Government Organizations, from National Government institutions, national and international experts and scientists on biodiversity.

National NGO’s, community leaders and Provincial Government Institutions, i.e. Bupati/Walikota and Kepala BAPPEDA (Regents/ Mayors and Head of Planning Board) in Tanah Papua, it is expected that more than 500 people will be participating in this conference.

Selasa, 15 September 2009

Video : Ikan Hiu Berjalan di Raja Ampat

Video : Kampanye Peduli Air Bersih di Jayapura, Papua



Kampanye Air Bersih di Jayapura, Papua, Kerjasama PDAM Jayapura dengan YKPM (Yayasan Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat Papua)

Video : Keindahan Raja Ampat Dalam Laut

Rabu, 02 September 2009

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA
NOMOR 118 TAHUN 2009
T E N T A N G

PEMBENTUKAN PANITIA PELAKSANA KONFERENSI KEANERAGAMAN HAYATI
INTERNATIONAL UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI TANAH PAPUA

Menimbang :
a. Bahwa untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam berwawasan lingkungan perlu adanya keterlibatan dan peran para pemangku kepentingan (multi stake holder) dalam Konferensi International Keanekaragaman Hayati di Tanah Papua;

b. Bahwa untuk maksud tersebut huruf a, perlu membentuk Panitia Pelaksana Konferensi Keanekaragaman Hayati International Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Tanah Papua;

c. Bahwa untuk maksud tersebut huruf a dan b, perlu ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Provinsi Papua

Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomo 47);

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 135) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 112);

3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53);

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 95);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82);

6. Keputusan Gubernur Provinsi Papua Nomor 148 Tahun 2002 tentang Pendelegasian Wewenang Gubernur Provinsi Papua kepada Wakil Gubernur Provinsi Papua (Lembaran Daerah Tahun 2002 Nomor 48).

Memperhatikan :
Surat ASMENKO I PRODIS sebagai Pelaksana Tugas Jabatan ASMENKO III PRODIS Nomor : 129/AS.III.PRODIS/12/1996 tanggal 16 Desember 1996 perihal Pembentukan Tim Koordinasi Tingkat Daerah Dalam Rangka BIMP-EGA.

M E M U T U S K A N :

Menetapkan :
KESATU : Membentuk Panitia Pelaksana Konferensi Keanekaragaman Hayati International Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Tanah Papua, dengan susunan keanggotaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.

KEDUA : Tim tersebut Diktum KESATU bertugas melaksanakan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan Konferensi Keanekaragaman Hayati Internasional Untuk Pembangunan di Tanah Papua dan bertanggung jawab serta wajib melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Gubernur Provinsi Papua.

KETIGA : Segala biaya yang dibutuhkan sebagai akibat ditetapkannya Keputusan ini dibebankan pada DPA/SKPD Badan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua Tahun 2009 dan WWF Indonesia Region Sahul papua.

EMPAT : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggak ditetapkan.

Ditetapkan di Jayapura
Pada tanggal 1 September 2009
AN. GUBERNUR PROVINSI PAPUA
WAKIL GUBERNUR

CAP/TTD

ALEX HESEGEM, SE

SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada Yth :
1. Menteri Dalam Negeri RI di Jakarta;
2. Direktur Jenderal PUMDA Departemen Dalam Negeri di Jakarta;
3. Ketua DPRP Provinsi Papua di Jayapura;
4. Kepala Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua di Jayapura;
5. Kepala Bappeda Provinsi Papua di Jayapura;
6. Kepala Inspektorat Provinsi Papua di Jayapura;
7. Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Provinsi Papua di Jayapura;
8. Bupati/Walikota se Provinsi Papua;
9. Yang bersangkutan untuk diketahui dan dipergunakan seperlunya.

Sabtu, 29 Agustus 2009

Abstract Paper : Sustainable Forest Management

SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Dr. Martin Golman
Deputy Director
PNG Forest Research Institute, Lae. Papua New Guinea

ABSTRACT

Sustainable Forest Management (SFM) is an operational philosophy based on integrated management of the forest and the surrounding environment (ITTO, 1998). It is perceived as a process in which attempts are made to integrate social, environmental and economic values of forest resources, for perpetual use by current and future generations. The emergence of SFM followed the popular notion of sustainable development, advocated by the Brundtland Report Our Common Future (World Commission on Environment and Development, 1987).

The SFM concept was grounded on several global initiatives, including the 1992 United Nations Conference on Environment and Development (in Rio de Janeiro, Brazil), the Intergovernmental Panel on Forests (IPF, 1995-1997), the IPF (1997-2000) and the United Nations Forum on Forests (2001-present). SFM was further clarified by criteria and indicators (C&I) initiatives such as the Montreal Process, Pan European Process, ITTO C&I and a variety of certificate schemes (Söderlund, 2001).

This paper will briefly summarise, how ITTO has advanced SFM towards the 2000 objective, but has experienced shortfalls in its activities with member countries. A similar report provided by the Food and Agriculture Organisation (FAO, 2005), will also be highlighted. These organizations can only report progress with C&I on issues that ITTO has championed. In a following section of this paper the reporting mechanism with C&I will be discussed.

Papua New Guinea (PNG) will be presented as a case study to show how it has attempted to implement the principles of SFM. PNG’s successes and failures in SFM will exemplify the challenges inherent in SFM. Suggestions on improving the SFM process in PNG will be discussed in the concluding remarks.

Abstract Paper : Conservation Friendly Spatial Plan (Green Spatial Plan)

Conservation Friendly Spatial Plan
(Green Spatial Plan)
By Thomas Barano Siswa S. Meteray

ABSTRACT
Economic growth as the primary generator of regional development in various dimensions and dynamics, has resulted in many changes. Some aspects of these changes include social structure, high intensity of inter culture interaction, environmental degradation, and land use continue to increase. This development is in line both with the growth of world’s population estimated to have reached more than 6.5 billions, and Indonesia which is the fourth in the world with a total population of 232 millions. Economic development and population growth become strong motivating factors for the regional development.

In order to manage and control the direction of population growth, it must be placed within the planning framework in accordance with the direction of program development policy and population service target existing in a developing region. Being indiscipline in implementing the result of the planning will cause the growth direction be unmeasurable and unorganized as expected. At the same time, the development which is outside of planning framework, will cause a decreasing environmental quality and increasing the frequncy of natural disasters which in turn hindering to reach human welfare and health goals. It has been proved that the sustainability of productivity is in line with the environmental quality continously managed.

Regional spatial planning, as one of management and control instruments of spatial planning for various functions and purposes of land use, is one of the fundamental planning tools for infrastructure and land use development plans. To ensure that this planning can be well implemented and the results can be legally accountable, the Act number 26 / 2007 was established as the legal umbrella for planning. This Act gives a stress on the importance of life buffer zone and natural resource potential reserve that function as a protected area, and the utilization of cultivated area should keep paying attention on the supporting capacity and carrying capacity of the environment. Article 19 (e) states that the national spatial planning should consider the supporting capacity and carrying capacity of the environment. Likewise for the provincial spatial planning is on article number 22 paragraph 2 point (d), and also for district spatial planning is on article 25 paragraph 2(d). That planning document also contains protected and cultivated areas which are mentioned on article 20 paragraph 1(c) for national spatial planning, article 23 paragraph 1(c) for provincial spatial planning, and article 26 paragraph 1 (c) for the district spatial planning.

Indonesia as one of the active countries in supporting the global agreement under the UN umbrella, also participates in realizing the sustainable development in all parts of Indonesia. One of the principles of the UN meeting results in Rio de Janeiro on 3-14 June 1992 is to achieve sustainable development and better life quality, the state should reduce and eliminate the patterns of unsustainable development of production and consumption, and promote appropriate demographic policies (to achieve sustainable development and higher quality of life for all people, states should reduce and eliminate unsustainable patterns of production and consumption and promote appropriate demographic policies : Principle 8). This principle is one of the driving forces for the countries in the world to continue in seeking improvement on management system and natural resources utilization as wel as regional spatial planning within the frame to achieve sustainable development. Besides, the UN has also sets the 8 targets of millenium development goals (Millenium Development Goals), where one of the goals is the sustainable environment (environmental sustainability : goal 7). In this environment objectives, there are two important targets that can be directly achieved through an environment friendly spatial plan ( Green Spatial Plan) that is to integrate sustainable development principles into policies, programs and reduction of environmental resources loss (supporting capacity and carrying capacity) (Integrate the principles of sustainable development into country policies and programs and reverse the loss of environmental resources : target 1). Another target is to reduce biodiversity loss by 2010, to significantly reduce the rate of loss (Reduce biodiversity loss,achieving, by 2010, a significant reduction in the rate of loss : Target 2).

In order to realize the planning of green space (green spatial plan) in accordance with the objectives and targets to be achieved in sustainable development and the MDG’s as well as targets in the celebration of national spatial planning in November 2009, the green spatial plan can be organized by using green infrastructure approach. Understanding of this approach is that the open green areas and those having characteristics naturally are the bases for the development of inter-regional networks that maintain connectivity and representation of ecosystems naturally. In our spatial structure, it can be translated as a harmonious relationship and the mosaics that follow the naturally landscape ecosystems between protected areas and cultivated areas that are utilized applying the principles of sustainability. Material content of green infrastructure includes conservation area, protected areas, disaster-prone areas, production forests, green open space, buffer zones in the area of cultivation, urban forest, inter-regional corridors, including aquatic ecosystems such as lakes, rivers, swamps and the areas that are managed sustainably such as plantation forests, plantations, freshwater aquaculture, including important areas of local communities both culturally and for the fulfillment of carbohydrates and protein.

Why is green infrastructure said to be the basic framework of development planning, as well as the spatial infrastructure that we know such as transportation networks, telecommunications, energy, and water resources. This is different from the approach of the green open areas that is optional to be developed or not, but the green infrastructure is a basic prerequisite is to be met as the answer to what is to be achieved through sustainable development. What are the expected benefits from green infrastructure, namely as the areas that care of environmental health, as habitat and maintain the sustainability of ecosystem services to humans.


ABSTRACT (in Bahasa)

Pertumbuhan ekonomi sebagai motor utama pengembangan wilayah dalam berbagai dimensi dan dinamikanya, telah mengakibatkan berbagai perubahan. Beberapa aspek perubahan tersebut mencakup struktur sosial, intensitas interaksi antar budaya yang tinggi, penurunan kualitas lingkungan dan penggunaan lahan yang terus meningkat. Perkembangan ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk baik di dunia yang diperkirakan telah mencapi lebih dari 6,5 milyar dan Indonesia yang masuk urutan keempat dunia dengan total jumlah penduduk sekitar 2,32 juta. Perkembangan ekonomi dan pertumbuhan penduduk menjadi faktor pendorong yang kuat terhadap perkembangan wilayah.

Untuk dapat mengelola dan mengendalikan arah pertumbuhan ini, maka harus ditempatkan dalam kerangka perencanaan yang sesuai dengan arah kebijakan pengembangan program dan target pelayanan penduduk yang terdapat dalam suatu wilayah pengembangan. Ketidakdisplinan dalam melaksanakan hasil dari perencanaan ini akan mengakibatkan arah pertumbuhan yang tidak terukur dan tertata sebagaimana yang diharapkan. Disaat yang sama perkembangan diluar kerangka perencanaan akan mengakibatkan kualitas lingkungan yang semakin buruk dan meningkatkan frekuensi bencana alam yang akhirnya menghambat pencapaian tujuan kesejahteraan dan kesehatan manusia sendiri. Telah terbukti bahwa keberlanjutan produktifitas sejalan dengan kualitas lingkungan yang terus dikelola.

Penataan ruang wilayah, sebagai salah satu instrumen pengelolaan dan pengendalian penggunaan ruang untuk berbagai fungsi dan tujuan penggunaan lahan merupkan salah satu alat perencanaan yang mendasar bagi rencana pengembangan infrastruktur dan penggunaan lahan. Untuk memastikan perencanaan ini dapat dilakukan dengan baik dan hasilnya dapat dipertanggunjawabkan secara hukum, maka telah ditetapkan UU 26/ 2007 sebagai payung hukum dalam perencanaan. Didalam undang undang tersebut telah memberikan penekanan pada pentingnya kawasan penyangga kehidupan dan cadangan potensi SDA yang berfungsi sebagai kawasan lindung dan didalam pemanfaatan kawasan budidaya harus tetap memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Disebutkan dalam pasal 19 bahwa perencanaan tata ruang wilayah nasional harus memperhatikan (e). Daya dukung dan daya tampung lingkungan. Hal yang sama juga berlaku untuk perencanaan tata ruang wilayah propinsi dalam pasal 22 ayat 2 point (d), dan juga untuk perencanaan tata ruang wilayah kabupaten pasal 25 ayat 2 (d). Didalam dokumen perencanaan tersebut juga memuat kawasan lindung dan budidaya yang disebutkan dalam pasal 20 ayat 1 (c) untuk perencanaan ruang wilayah nasional, 23 ayat 1 (c) untuk perencanaan ruang wilayah propinsi, dan 26 ayat 1 (c) untuk perencanaan ruang wilayah kabupaten.

Indonesia sebagai salah satu negara yang aktif dalam mendukung kesepakatan dunia dibawah payung PBB, juga ikut mewujudkan pembangunan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu prinsip dari hasil pertemuan PBB di Rio de Janeiro pada tanggal 3-14 Juni 1992 adalah untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan kualitas hidup yang lebih baik, negara harus mengurangi dan meniadakan pola-pola pembangunan yang tidak berkelanjutan dari produksi dan konsumsi dan mempromosi kebijakan demograsi yang sesuai (To achieve sustainable development and a higher quality of life for all people, States should reduce and eliminate unsustainable patterns of production and consumption and promote appropriate demographic policies: Principle 8). Prinsip ini menjadi salah satu pendorong bagi negara-negara didunia untuk terus mengupayakan perbaikan sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan penataan ruang wilayah dalam rangka mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Selain itu PBB juga telah menetapkan 8 target tujuan pembangunan milenium (Milennium Development Goals) dimana salah satu tujuannya adalah lingkungan yang berkelanjutan (enviromental sustainability: goal 7). Dalam tujuan lingkungan ini ada dua target penting yang secara langsung dapat dicapai melalui penataan ruang yang ramah lingkungan (Green saptial plan) yaitu mengintegrasi prinsip pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan pengurangan kehilangan sumberdaya lingkungan (daya dukung & daya tampung) (Integrate the principles of sustainable development into country policies and programmes and reverse the loss of environmental resources: target 1). Target lainnya adalah menurunkan kehilangan keanekaragaman hayati sampai 2010 secara nyata mengurangi laju kehilangan (Reduce biodiversity loss, achieving, by 2010, a significant reduction in the rate of loss: Target 2).

Dalam rangka mewujudkan penataan ruang yang hijau (green spatial plan) sesuai dengan tujuan dan target yang ingin dicapai dalam pembangunan berkelanjutan dan MDG’s serta sebagai sasaran dalam perayaan hari tata ruang nasional pada bulan November 2009, maka perencanaan ruang hijau dapat disusun dengan menggunakan pendekatan infrastuktur hijau. Pemahaman terhadap pendekatan ini adalah bahwa kawasan-kawasan terbuka hijau dan yang bersifat alami merupakan basis terhadap pengembangan jaringan antar kawasan yang menjaga keterhubungan dan keterwakilan ekosistem secara alami. Didalam tata ruang kita dapat diterjemahkan sebagai hubungan yang harmonis dan mosaik yang mengikuti bentang alami ekosistem antara kawasan lindung dan kawasan budidaya yang dimanfaatkan dengan prinsip-prinsip yang lestari. Muatan materi infrstruktur hijau mencakup kawasan konservasi, hutan lindung, kawasan rawan bencana, kawasan hutan produksi, ruang terbuka hijau, kawasan penyangga dalam kawasan budidaya, hutan kota, koridor antar kawasan, termasuk ekosistem perairan seperti danau, sungai, rawa dan kawasan-kawasan yang dikelola secara lestari seperti hutan tanaman, perkebunan, budidaya perikanan air tawar termasuk kawasan-kawasan penting masyarakat setempat baik secara budaya dan untuk pemenuhan karbohidrat dan protein.

Mengapa infrastruktur hijau dikatakan sebagai kerangka dasar perencanaan pembangunan, seperti halnya infrastruktur ruang yang kita kenal seperti jaringan transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumber daya air. Ini berbeda dengan pendekatan kawasan terbuka hijau yang bersifat pilihan mungkin dikembangkan atau tidak, tetapi infrastruktur hijau merupakan prasyarat dasar yang memang harus dipenuhi sebagai jawaban terhadap apa yang ingin dicapai melalui pembangunan berkelanjutan. Apa manfaat yang diharapkan dari infrastruktur hijau, yaitu sebagai kawasan yang menjaga kesehatan lingkungan, sebagai habitat dan menjaga keberlanjutan jasa ekosistem terhadap manusia.

Abstract : Pemantauan Migrasi Penyu yang bertelur di Bentang Laut Kepala Burung Papua Barat, by Barnabas Wurlianty

Pemantauan Migrasi Penyu yang bertelur di Bentang Laut Kepala Burung Papua Barat
by Barnabas Wurlianty (WWF-Indonesia,Sahul Region)

Pantai utara Kepala Burung Papua Barat dan beberapa pulau di Kabupaten Raja Ampat merupakan lokasi peneluran yang cukup besar untuk beberpa jenis penyu. Pulau Piai dan Pulau sayang di Kabupaten Raja Ampat merupakan tempat peneluran dari Penyu Hijau (Green Turtle), beberapa pantai di pulau-pulau kecil selatan Pulau Misool di bagian selatan Kabupaten Raja Ampat juga merupakan tempat peneluran Penyu Hijau (Green Tutle). Sedangkan di pantai utara Papua Barat terdapat dua pantai tempat peneluran terbesar Penyu Belimbing (Latherback Turtle) di Pasifik yaitu pantai jamursba Medi dan pantai Warmon.

Kemudian di pantai Utara Kabupaten manokwari tepatnya di Distrik Sidey terdapat pantai peneluran Penyu yang cukup panjang untuk jenis Penyu Lekang (Olive Ridle). Akan tetapi hamper semua pantai di utara Kepala Burung dan pulau2 di Raja Ampat merupakan tempat peneluran berbagai jenis penyu yang ada dengan tingkat keterancaman yang cukup tinggi baik di habitat peneluran maupun di perairan laut tempat penyu tersebut makan dan bermigrasi. Untuk mengetahui habitat2 lain dari penyu selain di pantai peneluran seperti lokasi makan, jalur migrasi, kelompok populasi, maka dilakukan studi migrasi dengan pemasangan Transmiter pada penyu yang datang bertelur di berbagai pantai peneluran dan pengambilan sampel kulit untuk analisa DNA dari penyu2 tersebut.

Pemantauan terhadap pola migrasi penyu dan analisa DNA di Papua dimulai dengan suatu kerjasama antara WWF Indonesia Sahul Program dengan NOAA Amerika. Kerjasama ini terfokus pada pemantauan populasi dipantai peneluran, pola migrasi dan analisis DNA dari penyu belimbing (Leatherback Turtle) di pantai peneluran Jamursbamedi dan Warmon yang dimulai pada tahun 2001. Kerjasama ini menghasilkan satu kesepakatan bersama antara 3 negara yaitu Indonesia, Papua New Guinea dan Solomon untuk melakukan pemantauan bersama terhadap Penyu Belimbing (Leatherback Turtle) pada kawasan yang cukup besar yang disebut dengan Bismark Solomon Sea Ecoregion.

Terbentuknya Bismark Solomon Sea Ecoregion tersebut berdasarkan hasil pemantauan pola migrasi dan analisis DNA dari penyu belimbing (Leatherback Turtle) yang bertelur di Pantai Utara Papua Barat, PNG dan Solomon Island, dimana dari hasil analisa menyatakan bahwa penyu belimbing (Leatherback Turtle) yang bertelur di 3 negara tersebut adalah penyu dari kelompok populasi yang sama yang bertelur di ketiga Negara tersebut. Dari pemantauan pola migrasi dapat diketahui juga bahwa lokasi makan dari penyu Belimbing tersebut berada sekitar lokasi pantai peneluran di Papua Barat (Pantai Warmon), PNG dan Solomon Island sampai ke pantai Timur Australia dan Kepulauan Kei (perairan Kei Kecil Barat). Sedangkan Penyu Belimbing yang bertelur di Pantai Jamursba Medi lokasi makannya berada di teluk Monteray Kalifornia Amerika Serikat.

Pemantauan yang sama terhadap pola migrasi dan analisis DNA dilakukan juga terhadap penyu hijau (Green Turtle) dan penyu lekang (Olive Ridle). Pemantauan pola migrasi dari Penyu Hijau telah dilakukan sejak tahun 2005 – 2007 dengan pemasangan 7 transmiter pada 7 ekor penyu hijau yang bertelur di Pulau Piai (Raja Ampat) yang dilakukan oleh Yayasan Penyu Papua. Dari hasil pemantauan ternyata sebagian besar penyu tersebut setelah bertelur bermigrasi kearah selatan sampai ke Kepulauan Kei dan Aru, dan ada juga bermigrasi sampai ke pantai selatan Pulau Kalimantan. Pemantauan lainnya terhadap penyu hijau dan penyu lekang dilakukan juga WWF dalam Program EBM. Dalam program EBM ini, dilakukan kerjasama antara WWF Indonesia dengan Universitas Udayana Bali.

Sebagai tindak lanjut program EBM di Papua Barat, dilakukan pemasangan 4 buah transmiter di Pantai Utara Kepala Burung Papua Barat dan Pulau Misool. Satu (1) buah transmiter dipasang pada penyu lekang (Olive Ridle) yang bertelur di pantai jamursba Medi, 2 buah transmiter dipasang pada penyu lekang (olive Ridle) yang bertelur di pantai utara kabupaten Manokwari, dan 1 buah transmiter dipasang pada penyu hijau (Green Turtle) di pulau Misool. Hasil pemantauan menunjukan bahwa selesai bertelur pada lokasi2 diatas, penyu2 tersebut bermigrasi kearah selatan terutama ke kepulauan Kei dan Aru.

Abstract : Ecology of Papua

Ecology, Biogeography, and Environment of Papua

By Bruce M. Beehler, Conservation International

Abstract
Papua supports the largest tract of equatorial forest wilderness remaining in Asia. Mountains define Papuan geography. The highest (snow-capped) peak of Papua is Puncak Jayakusuma or Puncak Jaya (4,884 m). Papua is estimated to house more than 15,000 species of vascular plants. Birds dominate the Papuan vertebrate fauna, with more than 600 species recorded. This includes more than 25 species of birds of paradise, three species of cassowaries, and some two dozen each of parrots, pigeons, raptors, and kingfishers.

The mammals are less in evidence, but include fruit-bats, insectivorous bats, tree kangaroos, possums, and rats among the 180 or so mammalian species. Amphibians include more than 130 species of frogs, many still undescribed to science. Reptiles include two crocodiles, 83 snakes, and 141 lizards. The fishes comprise ca 400 freshwater species and more than 2,250 marine taxa (about 1,500 of which inhabit coral reef ecosystems. There are probably in excess of 100,000 species of insects alone in Papua, only a fraction of these having been catalogued. As with Papua New Guinea, Papua is home to many traditional cultures—250 by one estimate. Many of Papua’s language groups are small and insular, with fewer than 1,000 speakers.

Papua is a land in flux. Significant chronic disturbance is produced by periodic vulcanism, human-caused and naturally-occurring fire regimes, plus El Niño drought.
Tanah Papua is immensely valuable to the global environment because it supports large expanses of unbroken natural forest and large intact marine ecosystems. Papua should thus be developed with care and planning. The earth benefits from the existence of Papua’s vast old growth forests—these produce abundant clean water for drinking; rich soils for subsistence gardens; timber and fiber for subsistence economies; and large natural ecosystems that stabilize regional weather systems and mitigate climate change. We should not lose sight of the importance of ecosystem services in tropical forest ecosystems. These supply much of the earth’s fresh water, which is growing scarce. Moreover, wild nature becomes increasingly valuable to an ever-more crowded and urbanized world. The rich developed countries and the large industries should be investing in these natural assets in the same way we want them to invest in carbon sequestration and REDD.

A rational and sustainable development regime for Papua will focus development nearest to the markets (on the coasts), and where infrastructure already exists (coastal urban centers). Road networks should be concentrated where the infrastructure lies already. Spending public funds to open up interior wilderness areas is not economically sound. A “smart” plan for developing Papua would keep the interior wild lands in large blocks rather than dissecting and degrading them. It would ensure the survival of Papua’s wildlife riches and ecosystem services, which are important to the traditional forest peoples of Papua. And it would balance intensive development in the urban areas against conservation in the wild lands in the interior. After all, Papua’s wilderness and its indigenous forest peoples make Papua unique. Keeping Papua unique culturally and environmentally will prove a winner in decades to come.

Abstract : Spatial Planning for Biodiversity Conservation in Papua

Spatial Planning for Biodiversity Conservation in Papua :
Laying the foundation for people-centered development that safeguards high biological and cultural diversity

by Drs. Alex Rumaseb, MM, Head of Regional Planning Agency (Bappeda), Papua Province, Indonesia

Abstract
Papua Province has adopted an innovative self-reliant (swakelola) and participative approach for spatial planning by the regional planning agency or Bappeda as the framer of the provincial spatial plan with biodiversity conservation as a central feature. In support of the self-reliant approach, technical assistance from Environmental Services Program (ESP) funded by the United States Agency for International Development (USAID) and from the United Kingdom’s Foreign and Commonwealth Office (FCO) has been embedded in the spatial planning unit of Bappeda. This self-reliant and inclusive provincial spatial planning process in Papua has rested on the following five development pillars, (a) Embedded support for self-reliant (swakelola) spatial planning, (b) strong and dynamic inter-institutional linkages, (c) building capacity and contributing to key outputs in the spatial planning process, (d) transparent, iterative and participative facts and analysis preparation and reporting that is consistent with Strategic Environmental Assessment (SEA) mandated for all spatial planning in Indonesia, (e) Building a legacy for sustainable spatial planning at the District and village levels.

To date, among the major highlights of the spatial planning process have been maps for (1) rationalization and harmonization of forest functions, (2) geo-location of villages and language groups, (3) integrated transport system networks, and (4) proposed rationalization of inter-district boundaries. Bappeda’s swakelola spatial planning approach, guided by principles of transparency, participation and accountability is true to the local saying about the importance of shared ownership, ko punya, sa punya, tong sama sama punya (you own it, i own it, therefore we both own it) promising a plan that while not perfect should be far better than before and far more likely to be respected by policy-makers, decision-makers, planners, investors, indeed the entire community of masyarakat Papua. Although well advanced, Papua’s spatial planning process remains a work in progress with a number of challenges ahead to provide enduring safeguards and guidance for biodiversity conservation. These remaining challenges occur relate to tasks facing the various administrative levels involved in developing spatial plans not just for Papua province, its Districts and villages but also the whole of Indonesia.

List of Contents
1. Introduction ........................................................................................................ 1
The Role of Spatial Planning in Effective Biodiversity Conservation ........................... 1
Governor’s Commitments to Conserving Biodiversity and Cultural Diversity ............... 1
A Special Role for the People of Papua .................................................................... 1
Structure of this Paper ............................................................................................ 2


2. Challenges for Spatial Planning in Papua Province Related to Biodiversity Conservation 2
A Spatial Plan that Underpins Papua Province’s Overarching Vision and Mission ....... 2

3. Innovative Self-reliant and Participative Spatial Planning ............................. 3

4. Five Development Pillars for Spatial Planning ................................................. 4

(1) Embedded Technical Support for Self-Reliant (Swakelola) Spatial Planning ..... 4

Demand-driven Identification and Management of Technical Support ......... 4
GIS Spatial Planning Laboratory ................................................................... 5
Tim Teknis .................................................................................................. 5


(2) Effective and Dynamic Inter-institutional Linkages to Ensure Adequate Communication of Ideas, Information and Reactions among Stakeholders .............................................. 6

(3) Capacity-Building for Spatial Planning Process as well as and Technical Contributions to the Framing of the Spatial Plan .............................................................................. 7

(4) Participative, Transparent and Iterative Preparation of the Facts and Analysis Report Consistent with Strategic Environmental Assessment (SEA) to Inform the Spatial Planning Process 8

(5) Continuous Improvement by Learning Lessons from Preparation of the Provincial Spatial Plan to Ensure a Legacy of Sustainability After the Spatial Plan is Legally Constituted .. 9

On-going Lessons-Learned Process ............................................................. 9

5. Highlights of Spatial Planning Outputs for Papua Province ........................... 10

6. Conclusion : Shared Ownership of Spatial Planning ............................................... 11

7. POST-SCRIPT : What Remains to Be Done for the Spatial Planning to become an Enduring Safeguard of Biological and Cultural Diversity in Papua Province ? ................................................. 11

Bibliography ................................................................................................................. 12
Maps ............................................................................................................................ 14



Abstract Paper : Ethnobotany of Piper spp and species diversity of the Piper plants in Papua

Ethnobotany of Piper spp and species diversity of the Piper plants in Papua
By Konstantina M.B Kameubun (1), Michael Muehlenberg(2)

1) Biology Education, Faculty of Teacher Training and Education, Cenderawasih University (UNCEN), Jayapura, Papua

Email: brigitabio@yahoo.co.id, kkameub@gwdg.de
2) Department of Conservation Biology, Georg-August University Goettingen, Germany
Email: mmuehle@uni-goettingen.de


Abstract
Study of the ethnobotany of Piper species and diversity was carried out in five areas in Papua: Jayapura, Merauke, Mamberamo, Wamena, and Raja Ampat. The aim of the study is to inventory the species of the genus Piper in Papua, to find local community knowledge about the use, the conservation, and the cultivation of Piper in Papua.

By own field surveys and interviews with the local communities in the different regions of Papua 18 species of Piper could be recorded. It is expected that the number of original species of Piper plants in Papua will increase if the survey area is extended. Three species are introduced, 9 species are used by the people in Papua and 1 species serves as a foodplant for fruit-eating birds.

The Papuan community uses Piper plants for medicines, foodstuffs, dowry, drink ingredients, spices, and as ornamental plants. Both, Piper methysticum Forst. and Piper betle L. , are cultivated by local communities and show a variation at the species level. The taxonomic status and the genetic structure of the two species (P. methysticum and P. betle) are investigated by genetics analyses using the methods of Microsatellite and AFLP.


Key words: Ethnobotany, Piper, diversity, Papua

Abstract : Climate change and possible contribution from Papua to prevent global disaster by Prof. Dr. Emil Salim



Abstract : Climate Risk Profile for Papua and Papua Barat

Climate Risk Profile for Papua and Papua Barat
By Terry Hills - Technical Advisor (Climate Change Adaption)
Conservation International


Abstract

Climate change is a global problem with local impacts – we need to ’avoid the unmanageable’ by making contributions to the global effort to stabilize greenhouse gas concentrations in the atmosphere, but also ‘manage the unavoidable’ by understanding the likely local impacts of climate change and taking action to help ‘climate-proof’ economic development and livelihoods.

This paper seeks to support development and conservation decision-makers in Papua and Papua Barat to make the best use of available information on climate risk as part of their decision-making – taking steps to ‘manage the unavoidable’. It includes an overview of the likely changes to temperature, precipitation, ocean acidity, sea level rise and climate-related extreme events for the Papuan provinces.

In addition, the paper outlines the broad levels of uncertainty associated with these climate projections to facilitate decision-making that weighs the cost of building climate resilience into planning decisions against the risk of inaction. Additionally, approaches that will reduce the risk profile of climate-sensitive investment decisions are described, supporting the identification of solutions for application at various scales in areas of high potential vulnerability.

Finally, the potential of ecosystem-based adaptation (EbA) is suggested as an important part of these climate solutions in the Papuan provinces. EbA aims to build climate-proof development outcomes by using the potential for ecosystems to act as a ‘bio-shield’ for climate change.

Full Paper download here

Kamis, 27 Agustus 2009

Abstract From Young Scientist : The Physiological Response Of Grafted Sweet Potato Plants Under Water Limited Conditions

By: Saraswati Prabawardani
Faculty of Agriculture and Agriculture Technique Papua State University

In the highland areas of Papua, drought and frost are the major problems for sweet potato production. Drought and frost occur yearly and devastate crops, threatening the lives of the people in the area. Due to the effect of El Niño, prolonged and severe drought occurred in 1997. As a consequence, many sweet potato crops died and lost (Prain and Widyastuti, 1998; Ballard, 1999).

Improvement of plant productivity under water stress needs an understanding of physiological mechanisms by which water stress affects plant growth. Sexual breeding strategies have not been very effective, as incompatibility is common in the sweet potato. Traditionally, farmers have selected seedlings from natural (segregating) populations, for specific traits, as sexual breeding is long-term job requiring a lot of resources and has often been unsuccessful for sweet potato. Grafting may offer a short-term solution by combining the desirable characteristics of different cultivars into one plant. Objective of the study was to observe the physiological aspects of rootstocks and scions from both drought tolerant and susceptible sweet potato cultivars under water limited conditions.

Results showed that grafting between two cultivars with compatible scions and rootstocks is possible. The compatibility of the grafted combination between a Lole scion grafted and a Wanmun rootstock fulfils the criterion for a drought tolerant strategy and good storage root yields under water stress conditions. The ability of this grafted combination to produce high tuber yields was associated with low rate of transpiration and high water-use efficiency. In addition, compatibility and good alignment across the grafted union provided ready movement of assimilates from leaves, and easy transport of water and inorganic substances from roots. Grafting of appropriate sweet potato materials allows the option of new farming systems to be developed so that the indigenous people of drought-prone environments, where sweet potato is the staple diet, can use the benefits to flow from the results of the present study.